Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU) menilai, sebaiknya penggunaan seragam militer oleh sipil dihentikan. TNI AU menilai seragam militer yang dipakai sipil, baik perorangan, instansi ataupun ormas bisa membahayakan keselamatan.
"Selain melanggar hukum, penggunaan seragam dan atribut militer oleh masyarakat sipil, sejatinya sangat membahayakan dirinya, karena bila terjadi konflik militer mereka dapat menjadi sasaran tembak kelompok militer dalam konflik bersenjata" kata Kepala Dinas Penerangan Angkatan Udara Marsekal Pertama Dwi Badarmanto dalam rilis resmi yang diterima detikcom, Selasa (9/1/2016).
Dwi mengatakan, seragam dan atribut militer yang dipakai oleh TNI bukan untuk gagah-gagahan. Tapi sebagai identitas sekaligus tanda pembeda institusi militer dengan sipil. Karena itu, TNI AU melarang sipil menggunakan seragam dan atribut militer.
Berikut penjelasan lengkap TNI AU:
Masyarakat sipil sudah sepantasnya berterima kasih kepada para penggagas konvensi Jenewa 1949. Sebagai induk hukum humaniter masyarakat dunia, konvensi Jenewa, secara tegas telah meletakkan prinsip dasar perlindungan bagi masyarakat sipil ketika terjadi konflik bersenjata.
Aplikasi dari perlindungan sipil ini tertuang dalam Distinction Principle (prinsip perbedaan), dimana dalam negara yang sedang berperang, maka penduduknya dibagi dalam dua kelompok besar yaitu combatan (kombatan) dan civilian (masyarakat sipil). Dalam keseharianya, perbedaan mereka
tampak jelas dari pakaian dan atribut yang dikenakannya. Combatan menggunakan seragam dan atribut militer, semenara civilian menggunakan seragam dan atribut sipil.
Pembedaan pakaian ini, bukan tanpa tujuan, kombatan dengan seragam dan atribut mliter yang dikenakan menjadi petunjuk bahwa mereka adalah kelompok yang secara aktif ikut dalam medan perang, sehingga legal untuk menyerang/diserang, menembak/ditembak atau bahkan membunuh/dibunuh. Sementara sipil dengan pakaian dan atribut yang dikenakannya, merupakan kelompok yang tidak boleh ikut serta dalam perang, sehingga tidak boleh menjadi sasaran kekerasan, bahkan mereka punya hak untuk mendapat perlindungan dalam konflik bersenjata.
Oleh karena itu menjadi aneh, ketika masyarakat sipil sudah ikut-ikutan menggunakan seragam dan atribut militer, karena tindakan itu sejatinya justru membahayakan bagi mereka, karena bila suatu saat terjadi konflik militer di Indonesia, maka masyarakat sipil --karena menggunakan pakaian dan atribut militer-- juga akan menjadi sasaran kekerasan, sehinga sah untuk diserang, ditembak atau dibunuh oleh pihak-pihak yang terlibat konflik bersenjata.
Kembalikan Pada Fungsinya
Untuk menghindari masyarakat sipil menjadi sasaran kekerasan dalam konflik militer, maka sudah saatnya penggunaan seragam dan atribut militer oleh masyarakat sipil dihentikan. Penghentian ini harus dipahami secara bersama, baik oleh combatan dan civilian sebagai gerakan moral dalam rangka melindungi civilian dari tindak kekerasan oleh militer dalam konflik bersenjata. Penghentian penggunaan seragam dan atribut militer juga harus dipahami sebagai upaya taat dan tertib hukum masyarakat dan bangsa Indonesia terhadap hukum internasional seperti yang tertuang dalam konvensi Jenewa 1949.
Bagi TNI AU khususnya dan TNI umumnya, penggunaan perlengkapan militer perorangan, yang antara lain berupa seragam dan atribut militer, secara yuridis formal, penggunaan seragam dan atribut militer di lingkungan TNI AU/TNI telah diatur dalam Surat Keputusan Panglima TNI Nomor Skep/346/X/2004 tanggal 5 Oktober 2004 tentang Pedoman Penggunaan Pakaian Dinas Seragam TNI dan Peraturan Kepala Staf TNI Angkatan Udara Nomor Perkasau/130/XII/2008 tanggal 2 Desember 2008 tentang Pedoman Penggunaan Pakaian dinas seragam TNI AU. Tujuannya jelas untuk memelihara soliditas prajurit, meningkatkan rasa disiplin, membangun citra institusi dan sekaligus tanggung jawab prajurit.
Dengan demikian, penggunaan pakaian seragam dan atribut militer oleh prajurit TNI AU/TNI tentunya bukan untuk tujuan gagah-gagahan, tetapi sebagai identitas sekaligus tanda pembeda institusi militer sebagai combatan terhadap institusi non militer sebagai civilian.
Kalau kemudian belakangan ini banyak institusi sipil (pemerintah dan swasta) juga menggunakan seragam dan atribut militer, tetunya perlu dikaji kembali landasan hukum apa yang menjadi alasan bagi mereka sehingga ikut menggunakan seragam dan atribut militer. Tentunya penggunaan seragam dan atribut tersebut, bukan sekadar untuk gagah-gagahan atau untuk menakut-nakuti masyarakat. Bila tidak ada alasan mendasar, sudah saatnya tindakan ini dihentikan, artinya penggunaan seragam dan atribut militer agar dikembaikan sesuai fungsinya.
"Melukai" Hati Prajurit
Duplikasi penggunaan seragam dan atribut militer oleh sipil seperti yang terjadi saat ini (Kemenhub, Kemenhum dan HAM, Polsuska) setidaknya membawa dampak kurang baik di kalangan internal TNI AU/TNI mupun eksternal masyarakat. Di kalangan internal prajurit TNI AU/TNI, duplikasi penggunaan seragam dan atribut militer oleh sipil telah "melukai" hati prajurit TNI AU/TNI. Pembiaran penggunaan seragam dan atribut tersebut pada akhirnya akan menurunkan moril prajurit, karena tidak ada lagi kebanggaan terhadap seragam dan atribut yang dipakainya, karena tidak ada bedanya dengan intansi sipil.
Dampak untuk eksternal, duplikasi penggunaan seragam dan atribut militer oleh sipil dapat menimbulkan image negatif prajurit atau institusi militer. Hal ini terjadi bila masyarakat sipil yang menggunakan seragam dan atribut militer melakukan perbuatan yang tidak terpuji di masyarakat. Masyarakat awam, tentunya akan beranggapan bahwa mereka adalah seorang prajurit TNI AU/TNI, karena masyarakat tidak dapat mebedakan mana yang seorang prajurit dan mana yang seorang sipil.
Untuk mempercepat pengembalian penggunaan seragam dan atribut militer sesuai fungsinya, sudah saatnya semua pihak yang berkompeten dibidang ini untuk segera duduk bersama, berkoordinasi dan mencari solusi terbaik atas penggunaan seragam dan atribut militer di kalangan sipil. Beberapa lembaga yang bekompeten itu, antara lain Kemenpolhukam, Kemendagri, Kemenpan dan Reformasi Birokrasi, Kepolisian RI serta Mabes TNI.
Jakarta, Desember 2015
Kepala Dinas Penerangan Angkatan Udara
Ir. Dwi Badarmanto, S.T, M.T
Masekal Pertama TNI
Momen Jonan Mirip Jenderal Saat Pakai Seragam Kemenhub
Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Agus Supriatna menyoal seragam dinas Kemenhub dan Kemenkum HAM yang dinilai mirip seragam militer. Seperti apa seragam milik Kemenhub?
Menteri Perhubungan Ignasius Jonan dalam beberapa kesempatan pernah memakai seragam dinas Kemenhub. Salah satunya saat Peringatan Hari Perhubungan Nasional pada Kamis 17 September 2015.
Catatan detikcom, ketika itu Jonan memimpin upacara. Dia memakai seragam warna biru tua dengan berbagai atribut, lengkap dengan pangkat 'bintang 4' di pundaknya. Layaknya petinggi militer, saat itu Jonan juga memakai tongkat komando.
Dalam pidatonya, Jonan sempat menyinggung atribut kepangkatan dan tanda khusus di Kemenhub layaknya prajurit dan perwira di militer dan kepolisian.
"Kami pertama kali membuat atribut pakaian kerja, supaya seragam. Dulu tanda kepangkatan beda. Sekarang dijadikan satu. Cuma emblem dan unit kerja beda. Saya ingin perhubungan jadi satu yakni darat, laut, kereta api, udara," ujar Jonan saat itu.
Marsekal Agus mengaku telah melayangkan surat ke Kemenhub dan Kemenkum HAM memprotes seragam dua kementerian itu yang mirip militer. Dia khawatir hal itu bisa menimbulkan masalah di kemudian hari.
Menurut Agus, sebaiknya seragam dinas Kemenhub dan Kemenkum HAM tak mirip seragam militer karena bisa menimbulkan salah persepsi.
"Itu kita sudah buat surat, sudah sampaikan. Segala sesuatu bergantung pada pemerintah. Segala sesuatu ada seragam sendiri sendiri. Secara kehidupan mungkin ada bangga kali kan," kata Marsekal Agus usai menghadiri Sertijab Pangkoops I di Makoopsau, Jl Kopatdara No 1, Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Selasa, (5/1/2016).
Agus mengatakan, memang sejauh ini belum ada dampak negatif yang timbul. Namun dia khawatir miripnya seragam Kemenhub dan Kemenkum HAM dengan seragam militer suatu saat bisa dimanfaatkan oleh oknum-oknum, baik dari dua lembaga tersebut atau TNI AU sendiri.
detikcom telah mencoba mengkonfirmasi persoalan ini kepada Kepala Pusat Komunikasi Publik Kemenhub JA Barata dan Menkum HAM Yasonna Laoly, namun keduanya belum merespons.
Sumber : Detik
"Selain melanggar hukum, penggunaan seragam dan atribut militer oleh masyarakat sipil, sejatinya sangat membahayakan dirinya, karena bila terjadi konflik militer mereka dapat menjadi sasaran tembak kelompok militer dalam konflik bersenjata" kata Kepala Dinas Penerangan Angkatan Udara Marsekal Pertama Dwi Badarmanto dalam rilis resmi yang diterima detikcom, Selasa (9/1/2016).
Dwi mengatakan, seragam dan atribut militer yang dipakai oleh TNI bukan untuk gagah-gagahan. Tapi sebagai identitas sekaligus tanda pembeda institusi militer dengan sipil. Karena itu, TNI AU melarang sipil menggunakan seragam dan atribut militer.
Berikut penjelasan lengkap TNI AU:
Masyarakat sipil sudah sepantasnya berterima kasih kepada para penggagas konvensi Jenewa 1949. Sebagai induk hukum humaniter masyarakat dunia, konvensi Jenewa, secara tegas telah meletakkan prinsip dasar perlindungan bagi masyarakat sipil ketika terjadi konflik bersenjata.
Aplikasi dari perlindungan sipil ini tertuang dalam Distinction Principle (prinsip perbedaan), dimana dalam negara yang sedang berperang, maka penduduknya dibagi dalam dua kelompok besar yaitu combatan (kombatan) dan civilian (masyarakat sipil). Dalam keseharianya, perbedaan mereka
tampak jelas dari pakaian dan atribut yang dikenakannya. Combatan menggunakan seragam dan atribut militer, semenara civilian menggunakan seragam dan atribut sipil.
Pembedaan pakaian ini, bukan tanpa tujuan, kombatan dengan seragam dan atribut mliter yang dikenakan menjadi petunjuk bahwa mereka adalah kelompok yang secara aktif ikut dalam medan perang, sehingga legal untuk menyerang/diserang, menembak/ditembak atau bahkan membunuh/dibunuh. Sementara sipil dengan pakaian dan atribut yang dikenakannya, merupakan kelompok yang tidak boleh ikut serta dalam perang, sehingga tidak boleh menjadi sasaran kekerasan, bahkan mereka punya hak untuk mendapat perlindungan dalam konflik bersenjata.
Oleh karena itu menjadi aneh, ketika masyarakat sipil sudah ikut-ikutan menggunakan seragam dan atribut militer, karena tindakan itu sejatinya justru membahayakan bagi mereka, karena bila suatu saat terjadi konflik militer di Indonesia, maka masyarakat sipil --karena menggunakan pakaian dan atribut militer-- juga akan menjadi sasaran kekerasan, sehinga sah untuk diserang, ditembak atau dibunuh oleh pihak-pihak yang terlibat konflik bersenjata.
Kembalikan Pada Fungsinya
Untuk menghindari masyarakat sipil menjadi sasaran kekerasan dalam konflik militer, maka sudah saatnya penggunaan seragam dan atribut militer oleh masyarakat sipil dihentikan. Penghentian ini harus dipahami secara bersama, baik oleh combatan dan civilian sebagai gerakan moral dalam rangka melindungi civilian dari tindak kekerasan oleh militer dalam konflik bersenjata. Penghentian penggunaan seragam dan atribut militer juga harus dipahami sebagai upaya taat dan tertib hukum masyarakat dan bangsa Indonesia terhadap hukum internasional seperti yang tertuang dalam konvensi Jenewa 1949.
Bagi TNI AU khususnya dan TNI umumnya, penggunaan perlengkapan militer perorangan, yang antara lain berupa seragam dan atribut militer, secara yuridis formal, penggunaan seragam dan atribut militer di lingkungan TNI AU/TNI telah diatur dalam Surat Keputusan Panglima TNI Nomor Skep/346/X/2004 tanggal 5 Oktober 2004 tentang Pedoman Penggunaan Pakaian Dinas Seragam TNI dan Peraturan Kepala Staf TNI Angkatan Udara Nomor Perkasau/130/XII/2008 tanggal 2 Desember 2008 tentang Pedoman Penggunaan Pakaian dinas seragam TNI AU. Tujuannya jelas untuk memelihara soliditas prajurit, meningkatkan rasa disiplin, membangun citra institusi dan sekaligus tanggung jawab prajurit.
Dengan demikian, penggunaan pakaian seragam dan atribut militer oleh prajurit TNI AU/TNI tentunya bukan untuk tujuan gagah-gagahan, tetapi sebagai identitas sekaligus tanda pembeda institusi militer sebagai combatan terhadap institusi non militer sebagai civilian.
Kalau kemudian belakangan ini banyak institusi sipil (pemerintah dan swasta) juga menggunakan seragam dan atribut militer, tetunya perlu dikaji kembali landasan hukum apa yang menjadi alasan bagi mereka sehingga ikut menggunakan seragam dan atribut militer. Tentunya penggunaan seragam dan atribut tersebut, bukan sekadar untuk gagah-gagahan atau untuk menakut-nakuti masyarakat. Bila tidak ada alasan mendasar, sudah saatnya tindakan ini dihentikan, artinya penggunaan seragam dan atribut militer agar dikembaikan sesuai fungsinya.
"Melukai" Hati Prajurit
Duplikasi penggunaan seragam dan atribut militer oleh sipil seperti yang terjadi saat ini (Kemenhub, Kemenhum dan HAM, Polsuska) setidaknya membawa dampak kurang baik di kalangan internal TNI AU/TNI mupun eksternal masyarakat. Di kalangan internal prajurit TNI AU/TNI, duplikasi penggunaan seragam dan atribut militer oleh sipil telah "melukai" hati prajurit TNI AU/TNI. Pembiaran penggunaan seragam dan atribut tersebut pada akhirnya akan menurunkan moril prajurit, karena tidak ada lagi kebanggaan terhadap seragam dan atribut yang dipakainya, karena tidak ada bedanya dengan intansi sipil.
Dampak untuk eksternal, duplikasi penggunaan seragam dan atribut militer oleh sipil dapat menimbulkan image negatif prajurit atau institusi militer. Hal ini terjadi bila masyarakat sipil yang menggunakan seragam dan atribut militer melakukan perbuatan yang tidak terpuji di masyarakat. Masyarakat awam, tentunya akan beranggapan bahwa mereka adalah seorang prajurit TNI AU/TNI, karena masyarakat tidak dapat mebedakan mana yang seorang prajurit dan mana yang seorang sipil.
Untuk mempercepat pengembalian penggunaan seragam dan atribut militer sesuai fungsinya, sudah saatnya semua pihak yang berkompeten dibidang ini untuk segera duduk bersama, berkoordinasi dan mencari solusi terbaik atas penggunaan seragam dan atribut militer di kalangan sipil. Beberapa lembaga yang bekompeten itu, antara lain Kemenpolhukam, Kemendagri, Kemenpan dan Reformasi Birokrasi, Kepolisian RI serta Mabes TNI.
Jakarta, Desember 2015
Kepala Dinas Penerangan Angkatan Udara
Ir. Dwi Badarmanto, S.T, M.T
Masekal Pertama TNI
Momen Jonan Mirip Jenderal Saat Pakai Seragam Kemenhub
Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Agus Supriatna menyoal seragam dinas Kemenhub dan Kemenkum HAM yang dinilai mirip seragam militer. Seperti apa seragam milik Kemenhub?
Menteri Perhubungan Ignasius Jonan dalam beberapa kesempatan pernah memakai seragam dinas Kemenhub. Salah satunya saat Peringatan Hari Perhubungan Nasional pada Kamis 17 September 2015.
Dalam pidatonya, Jonan sempat menyinggung atribut kepangkatan dan tanda khusus di Kemenhub layaknya prajurit dan perwira di militer dan kepolisian.
"Kami pertama kali membuat atribut pakaian kerja, supaya seragam. Dulu tanda kepangkatan beda. Sekarang dijadikan satu. Cuma emblem dan unit kerja beda. Saya ingin perhubungan jadi satu yakni darat, laut, kereta api, udara," ujar Jonan saat itu.
Marsekal Agus mengaku telah melayangkan surat ke Kemenhub dan Kemenkum HAM memprotes seragam dua kementerian itu yang mirip militer. Dia khawatir hal itu bisa menimbulkan masalah di kemudian hari.
Menurut Agus, sebaiknya seragam dinas Kemenhub dan Kemenkum HAM tak mirip seragam militer karena bisa menimbulkan salah persepsi.
"Itu kita sudah buat surat, sudah sampaikan. Segala sesuatu bergantung pada pemerintah. Segala sesuatu ada seragam sendiri sendiri. Secara kehidupan mungkin ada bangga kali kan," kata Marsekal Agus usai menghadiri Sertijab Pangkoops I di Makoopsau, Jl Kopatdara No 1, Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Selasa, (5/1/2016).
Agus mengatakan, memang sejauh ini belum ada dampak negatif yang timbul. Namun dia khawatir miripnya seragam Kemenhub dan Kemenkum HAM dengan seragam militer suatu saat bisa dimanfaatkan oleh oknum-oknum, baik dari dua lembaga tersebut atau TNI AU sendiri.
detikcom telah mencoba mengkonfirmasi persoalan ini kepada Kepala Pusat Komunikasi Publik Kemenhub JA Barata dan Menkum HAM Yasonna Laoly, namun keduanya belum merespons.
Sumber : Detik